Perkembangan Koperasi Indonesia
Selama 62 tahun koperasi dalam gerakan lambat
Terlepas dari motivasi awal yang muncul,
secara kuantitas gerakan koperasi mengalami peningkatan. Secara
kualitas? Memang masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh
lembaga-lembaga yang berkait dengan koperasi, termasuk pelaku usaha
koperasi itu sendiri. Namun bijakkah ketika pembinaan belum maksimal,
koperasi harus dibubarkan?
Koperasi sebagai soko guru perekonomian
nasional, masih memiliki prospek yang bagus berkait dengan pemberdayaan
ekonomi kerakyatan. Tentunya persoalan ini bisa dimaksimalkan manakala
pemerintah pusat hingga daerah satu kata, berupaya maksimal melakukan
pembinaan untuk menciptakan proses kemandirian koperasi secara
profesional.
Sampai dengan usia ke 62, sejak tanggal
12 Juli ditetapkan sebagai Hari Koperasi melalui Kongres I di
Tasikmalaya pada tahun 1949, gerakan koperasi Indonesia mengalami
dinamika tersendiri. Berbagai sikap pesimis dan optimis terus saja
bermunculan. Ini tak terlepas dari persoalan masih banyak lembaga
koperasi yang belum bisa menerapkan manajemen secara profesional.
Berkait dengan ini, sebuah keharusan bagi pengurus koperasi untuk
bersikap lebih profesional. Para pengurus koperasi jangan hanya
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai jabatan sampingan.
Sampai detik ini pula, tidak sedikit mereka yang menjadi pengurus
koperasi tak lebih hanya sebuah jabatan sampingan saja. Karuan saja,
kondisi ini menghambat laju kemandirian gerakan koperasi menuju
kemandirian secara profesional. Untuk memperbaiki citra, koperasi harus
kembali pada jati dirinya dengan membangun organisasi yang profesional.
Hal ini sebenarnya sudah tersirat dalam nilai-nilai gerakan koperasi,
yaitu persoalan kejujuran, keadilan, tanggungjawab sosial dan menolong
diri sendiri.
seiring dengan perubahan waktu,
nilai-nilai yang berada di masyarakat mengalami perubahan. Kondisi ini
langsung atau tidak langsung mempengaruhi persepsi anggota koperasi dan
juga masyarakat koperasi mengenai perlu tidaknya koperasi dipertahankan,
apalagi citra koperasi yang jauh dari yang diharapkan. Konsumerisme
merupakan tantangan terbesar bagi robohnya prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang dikandung dalam koperasi itu sendiri.
Selain itu, Perkembangan gerakan
koperasi Indonesia sendiri mengalami pasang surut. Berangkat dari
lembaga sosial masyarakat, koperasi berinteraksi dengan banyak lembaga
yang ada di masyarakat Indonesia. “Kondisi ini membawa konsekuensi bahwa
beberapa aspek internal dan eksternal saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, seperti misalnya sistem perekonomian yang dianut,
kebijakan pemerintah yang diambil pada periode yang bersangkutan,
kondisi sumber daya ekonomi dan sumber daya alam serta sumber daya manusia, budaya dan nilai-nilai sosial setempat.
Salah satu penyebab utamanya adalah
absennya spirit kewirakoperasian di kalangan pengurus dan pengelola
koperasi. Spirit inilah yang mesti digali dan dibumikan oleh segenap
awak-awak koperasi.
Akhirnya, banyak kalangan yang
menyarankan untuk memajukan gerakan koperasi di Indonesia, perlu
dikembangkan spirit kewirausahaan didalamnya. Namun, yang kurang
disadari ialah bahwa kewirausahaan yang dianjurkan banyak kalangan
tersebut tidaklah sesuai dengan kebutuhan koperasi itu sendiri.
“Kewirausahaan yang dianut ini bersumber
pada konsep ekonomi liberal yang memuja keuntungan dan uang yang
sebesar-besarnya sebagai tujuan utama dan menganggap persaingan adalah
jiwa dari setiap usaha, seringkali tanpa mempersoalkan cara dan etika
didalamnya. Koperasi dan gerakannya tidaklah memerlukan kewirausahaan
seperti itu, karena jelas semangatnya tidak sesuai.
Bagi koperasi, yang diperlukan adalah
spirit kewirakoperasian, yang tujuan utamanya adalah pelayanan dan
kesejahteraan bersama yang berasaskan pada kekeluargaan, kerja sama, dan
kesetiakawanan. Atas dasar perbedaan pandangan hidup, keduanya memang
berusaha mengembangkan kualitas pribadi pada seseorang apa yang dianggap
terbaik, dan unggul.
Keduanya merupakan himpunan pribadi
berkualitas, yang bertujuan mengembangkan dan memajukan usaha, berani
menghadapi berbagai kesulitan dan mencari solusinya, selalu percaya dan
berani hidup di atas kaki sendiri, bersedia mengambil resiko dan memikul
tanggung jawab atas segenap tindakannya. Kendati demikian, ada
perbedaan mendasar yang terkait dengan tujuan dan asas. Oleh karena itu,
koperasi dalam arti yang sebenarnya hanya dapat berkembang dengan
kewirakoperasian.
Bersamaan dengan itu, kondisi lingkungan
koperasi ikut menentukan perkembangan koperasi itu sendiri. Lingkungan
yang tidak ramah, yang mengganggu, apalagi yang memusuhi akan sangat
menghambat perkembangan koperasi. Dalam tingkat perkembangan seperti
sekarang ini, koperasi masih terlalu lemah untuk dapat mengatasi
kesulitan lingkungan dengan kekuatan sendiri. Oleh karena itu,
pemerintah harus banyak membantu perkembangan koperasi, terlebih bagi
koperasi-koperasi yang baru saja tumbuh dan berdiri.
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi
informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat
globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin
membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis
Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan
ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme
saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem perekonomian Indonesia.
Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan
terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro
ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan
liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan
liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas
negara-negara.
Di sisi lain, Indonesia
setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap
mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang
dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4
dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran
di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau
neoliberalisme.
Kekeliruan
lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata
”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33
UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai
pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi
berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus
bernuansa liberalisme.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning”
sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama
anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk
kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus
koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?
Apakah
jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya
koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi
Indonesia (Dekopin 2006)? Atau
dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri Negara Koperasi
dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun
2009?
Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi
juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”,
diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan
mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi
teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan,
pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan
publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai
dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi),
sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior
(perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada
pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman
Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan,
Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional.
Pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto
(2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada
teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru
menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang
menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang
semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat
Indonesia dewasa ini.
Logika
modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara
kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal
ini terjadi karena Barat mengidentifikasi
realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere)
baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi
tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti
publik, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam
pemaknaan struktur makro.
Hanya
masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi
konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu.
Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh
sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan
bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere.
Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga
sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan
digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere,
seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan
neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara
perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, bukanlah kooptasi dan pengkerdilan
usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga
masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan
anggota masyarakat.
Bentuk
Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan
memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau
bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah
didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat
dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut
memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah
aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala
Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan.
Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi
operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state”
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1)
bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak,
(2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan
menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi
politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti
feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas,
menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”,
yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan
tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat
proses transformasi sosial yang hakiki.
Berdasarkan
data dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM, perkembangan koperasi di
Indonesia tahun 2000 sampai dengan tahun 2008, menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan, pada tahun 2000 jumlah koperasi sebanyak 103.077
unit, dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 155.301 unit atau meningkat
50,67%.
Dalam
1 tahun terakhir jumlah Koperasi Indonesia bertambah 126 unit, yaitu
Koperasi Indonesia dengan status primer bertambah 119 unit dan Koperasi
Indonesia yang berstatus sekunder bertambah 7 unit. Total Koperasi
Indonesia primer tingkat nasional mencapai 873 unit dan Koperasi
Indonesia sekunder menjadi 165 unit. Sedangkan total Koperasi Indonesia
yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 149.793 Koperasi. Secara
Jumlah Koperasi Indonesia memang cukup fenomenal tetapi secara kualitas
masih jauh dibawah usaha - usaha kapitalis jika dibandingkan dengan
koperasi internasional Selain itu, dari hasil klasifikasi dan
peringkatan, jumlah Koperasi Indonesia berkualitas di tahun 2008
mencapai 42.267 Koperasi Indonesia.
2001
Sampai
dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia
tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotan sebanyak
26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi
per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah
koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan,
yaitu per-November 2001, sebanyak 96.180 unit .
2002
Jumlah
Koperasi pada Akhir tahun 2002 sebesar 1.628 mengalami pertumbuhan
sebanyak 151 unit atau 10,22 % dari tahun 2001 sebanyak 1.477 unit.
Jumlah
Anggota Koperasi pada akhir tahun 2002 sebanyak 142.470 orang mengalami
peningkatan sebanyak 18.713 orang atau 15,12 % dari tahun 2001 sebanyak
123.757 orang.
Jumlah
modal sendiri pada akhir tahun 2002 sebesar Rp. 51.568.000.000,-
mengalami kenaikan sebesar Rp. 84.000.000,- atau 0,16 % dari tahun 2001
sebesar Rp. 51.484.000.000,-
Jumlah
Modal luar pada akhir tahun 2002 sebesar Rp.39.412.000.000,- mengalami
kenaikan sebesar Rp.9.111.000.000,- atau 30,06 % dari tahun 2001 sebesar
Rp. 30.301.000.000
Jumlah
Asset pada akhir tahun 2002 sebesar Rp.90.980.000.000,- mengalami
peningkatan sebesar Rp. 9.195.000.000,- atau 11,24 % dari tahun 2001
sebesar Rp. 81.785.000.000,
Jumlah
volume usaha pada akhir tahun 2002 sebesar Rp.116.485.000.000,-
mengalami kenai-kan sebesar Rp. 3.115.000.000,- atau 2,74 % dari tahun
2001 sebesar Rp. 113.370.000.000,-
Jumlah
SHU pada akhir tahun 2002 sebesar Rp. 8.642.000.000,-mengalami kenaikan
sebesar Rp. 92.000.000,- atau 1,07 % dari tahun 2001 sebesar Rp.
8.550.000.000,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar