Minggu, 19 Mei 2013

KETAHANAN NASIONAL DI DALAM BIDANG PANGAN



Kata – Kata Mutiara
                                
“Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya
Hidup di tepi jalan …
dan dilempari orang dengan batu,
Tetapi dibalas dengan buah “
-Abu Bakar Sibli-
“Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak
lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah”
-Nabi Muhammad Saw-




KATA PENGANTAR
Puji serta syukur segala muara pujian hanya pantas terhatur pada Allah SWT atas segala rahmat dan inayah-Nya. Alhamdulilah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah yang bejudul “Ketahanan Nasional dalam Bidang Pangan” .
Penulisan karya ilmiah ini, bertujuan untuk memenuhi tugas softskill Pendidikan Kewarganegaraan. Karya ilmiah ini di susun berdasarkan hasil analisis data dari referensi-referensi buku Pendidikan Kewarganegaraan yang saya baca tentang “Ketahanan Pangan Nasional Indonesia”.
Selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari peranan dan bimbingan, baik dari pihak Universitas maupun pihak Dosen. Adapun tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Djumharjinis, selaku Dosen pembimbing dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang memberikan tugas ini sehingga kami selaku mahasiswa/i dapat mempelajari cara penulisan Ilmiah yang akan kami lakukan di semester 6 nanti.
Saya mengharapkan masukan atau saran sebagai upaya agar karya ilmiah ini dapat tersusun lebih sempurna dari sebelumnya.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi generasi muda yang akan datang.

Depok, Mei 2013
Yayuk lestari

DAFTAR ISI

CURRICULUM VITAE (CV)29



BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh  Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Namun, Ketahanan Pangan (Food Security) di negara kita tampaknya cukup rapuh. Jumlah produksi pangan cenderung mengalami penurunan. Berbicara ketahanan pangan nasional setelah terjadi krisis ekonomi global mempengaruhi juga krisis pangan ini disebabkan semakin sulit untuk mencari penghasilan untuk mendapatkan pangan selain itu petani juga menjadi sulit mencari bibit-bibit pangan yang memang ikut “lepas landas” bareng dengan pesawat jet yang cukup tinggi, disini sudah mulai dirasakan dimana pangan makin sulit di dapat di negeri sendiri sampai-sampai produksi beras impor pun masuk ke Indonesia sungguh ironis negara yang kaya akan lahan pertanian harus mendapatkan produksi pangan dari luar negeri. Hasil produksi yang ditanam oleh petani lokal pun mulai tergusur dengan kedatangan produksi pangan impor, ya terpaksa mereka menjual tanah atau ladang persawahan milik mereka tanpa di sadari dari penjualan lahan pertanian maupun ladang berimbas semakin berkuranganya lahan pertanian yang ada di Indonesia.
Pada dasarnya, permasalahan ketahanan pangan di Indonesia sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan yang sangat banyak dan subur, maka semestinya ketersediaan pangan surplus. Namun yang terjadi justru semakin bermasalah. Ada banyak faktor, salah satunya konversi lahan pertanian yang tinggi dan tingkat pertumbuhan penduduk yang hamper tidak terkendali.
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang pesat sepertinya tidak diimbangi dengan sarana dan prasaran yang membantu. Melihat pada kondisi global misalnya, banyaknya jumlah penduduk sekarang menjadi masalah besar. Jumlah penduduk dunia sekarang yang ketahui telah mencapai 9 miliar jiwa. Bandingkan dengan jumlah pada 50 tahun sebelumnya, yang hanya 3 miliar jiwa. Dalam kurun 50 tahun jumlah penduduk dunia meningkat pesat hingga lebih dari dua kali lipat. Di Indonesia sendiri pascasensus 2010, jumlah penduduknya mencapai 235-240 juta.
Jumlah yang sangat besar ini sepertinya tidak diimbangi dengan kemampuan lahan pertanian di Indoensia. Konversi besar-besaran lahan pertanian ke non-pertanian menambah buruk kondisi pangan di bumi Nusantara ini. Lambat laun, kesulitan pangan mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat miskin pun menjadi semakin merasakan kesulitan akibat menurunnya ketahanan pangan.

1.2  Alasan Pemilihan Judul

Dalam penulisan karya tulis ini yang berjudul “Ketahanan Nasional dalam Bidang Pangan” penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca agar mempertahankan produksi pangan di Indonesia dengan tidak terus menerus mengkonsumsi hasil produksi pangan impor agar ketahanan pangan di Indonesia mampu bertahan dengan kekuatan produksi pertaniannya.

 

 1.3  Rumusan Masalah

 Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
-          Bagaimanankah kondisi ketahahan pangan di Indonesia saat ini?
-           Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negeri sedangkan  Indonesia termasuk salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%??
-          Peran Pemerintah dalam upaya memajukan pertahanan pangan ?

 1.4  Tujuan Penelitian

 Sebagai pembelajaran dalam menambah wawasan pengetahuan tentang
 Apa saja permasalahan-permasalahan Ketahanan Pangan di Indonesia serta 
 Peran pemerintah dalam menangani permasalahan Ketahanan Pangan yang
 ada.   


1.5  Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan ini adalah kita dapat mengetahui apa saja masalah ketahanan pangan yang terjadi di Indonesia serta penyebab yang menyebabkan rendahnya ketahanan pangan di negara yang kita cintai ini.

1.6  Sistematika Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini terdiri dari 5 bab dimana setiap bab-nya memiliki sub bab, sistematikanya adalah :

BAB I Pendahuluan
Pada bab ini membahas latar belakang penulisan, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori
Pada bab ini berisikan landasan teori-teori yang mengacu pada tema penulisan karya ilmiah ini.

BAB III Metode Penelitian
Pada bab ini membahas tentang objek penelitian dan bagaimana penulis memperoleh data untuk penulisan karya tulis ini, apakah mengunakan metode studi lapangan terjun langsung ke lapangan dan mewawancarai narasumber untuk memperoleh informasi, atau dengan metode studi pustaka dengan mencari data melalui buku dan internet yang berhubungan dengan tema penulisan karya tulis ini.

BAB IV Pembahasan
Pada bab ini berisi uraian judul yang dipakai, yaitu bagaimana keadaan ketahanan pangan di Indonesia, analisis dampak rendahnya ketahanan pangan negara kita, serta permasalahan impor beras yang terjadi yang menyangkut ketahanan pangan Indonesia  

BAB V Penutup
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran atas isi dari karya tulis ini.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengertian Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan dalam mempearjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah menegara. Ketahanan Nasional merupakan kodisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, yang langsung dan tidak langsung membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya. Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan konsepsi di dalam pengetahuan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupan nasional.

2.2  Macam-macam Ketahanan Nasional 
Perwujudan ketahanan nasional terbagi :
1. Perwujudan Ketahanan Nasional Indonesia dalam Trigatra, terbagi menjadi :
a. Aspek lokasi dan posisi Geografis Wilayah Indonesia
b. Aspek Keadaan dan Sumber-sumber Kekayaaan Alam
c. Aspek Penduduk
2. Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Pancagatra, terbagi menjadi :
a. Ketahanan Nasional Dalam Bidang Ideologi
b. Ketahanan Nasional Dalam Bidang Politik
c. Ketahanan Nasional di Bidang Ekonomi
d. Ketahanan nasional dibidang sosial budaya
e. Ketahanan nasional dibidang pertahanan keamanan
Ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya dan ketahanan pertahanan keamanan
-       Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi pancasila yang mengandung kemampuan untuk menggalan dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan untuk menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai - nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
-       Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan pancasila dan UUD 1945, mengandung kemampuan stabilitas politik yang sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas aktif.
-       Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang berlandaskan demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila, yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dnamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata.
-       Ketahanan nasional budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan pancasila, yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju, dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi, dan seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
-       Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemauan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil – hasilnya, serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menagkal segala bentuk ancaman.

2.3  Pengertian Ketahanan Pangan
Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.
Pada tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal.

Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya.
Di Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang bekerja on-farm untuk yang berada di daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi.
Memperhatikan hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan.

2.4  Aspek Ketahanan Pangan
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 aspek yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu :
1. Aspek ketersediaan pangan (Food Availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
2.  Aspek Akses Pangan (Food Acces) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian atupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dari individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan social. Akses ekonomi tergantung pada, pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses social menyangkut tentang referensi pangan.
3.  Aspek Penyerapan Pangan (Food Utilazation) : yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga/individu sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas kesehatan, serta penyuluahan gizi dan pemeliharaan balita. Penyerapan pangan / konsumsi terkait dengan kualitas dan keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sulit dilakukan karena melibatkan berbagai jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran keamanan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.
4.  Aspek Stabilitas : merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi sementara yang diakibatkan Karena masalah kekeringan, banjir, bencana, maupun konflik social. Jika dilihat di tingkat  rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekwensi makan anggota rumah tangga. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai ketersediaan pangan di atas cutting point (240 hari untuk provinsi lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dan makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut. Dengan asusmsi di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari. Frekwensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan daam jangka waktu tertentu adalah mengurangi frekwensi makan atau mengkominasikan bahan makanan pokok misal (beras dengan umbi kayu).
Apabila salah satu aspek tersebut tidak terpenuhi maka suatu Negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang cukup baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi pangannya tidak merata, maka ketahan pangan masih dikatakan rapuh.




BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif, dan metode yang digunakan bertipe deskriptif analisis yaitu berupa persoalan suatu fenomena untuk sampai pada suatu langkah-langkah dalam mengatasi fenomena yang menjadi pokok permasalahan dan menggambarkan reaksi atau tindakan pemerintah terhadap permasalahan.

3.1 Objek Penelitian
Objek yang penulis pilih ini adalah tentang Ketahanan Nasional dalam Bidang Pangan yang mencakup definisinya, aspek-aspek, dan permasalahan yang terjadi seperti meningkatnya jumlah/populasi penduduk sehingga meningkatnya pula impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Kenyataan bahwa penduduk Indonesia yang 220 juta orang hampir semuanya pemakan nasi. Jadi, apabila kita selalu menggantungkan diri pada impor beras, bila terjadi fluktuasi di pasar beras internasional bisa memunculkan masalah serius bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masalah pengadaan pangan pokok harus selalu dikaitkan dengan aspek ketahanan pangan. Untuk itu yang perlu dicermati tak hanya masalah produksi, tetapi harga gabah, kemudahan kredit, kebijakan impor, dan penyelundupan. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Deptan mempunyai tugas berat untuk mengamankan ketahanan pangan.



3.2  Metode dan Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian literature / buku yang biasa disebut dengan riset pustaka. Adapun mengenai metode yang diterapkan dalam memahami studi khasus tentang kajian ketahanan nasional di bidang budaya, dan selanjutnya penulis akan menganalisa dari data-data yang diperoleh dari sumber informasi, baik itu buku refrensi, media massa / surat kabar, maupun melalui internet yang menunjang penulis untuk dapat menganalisa isu yang ada.






BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di Indonesia.
Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank,1990). Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Padahal ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan, karena:
(a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, serta
(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain itu, saat ini di Indonesia sendiri Kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan nonpertanian, khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi.
Selain itu Terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.

Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga global. Yang lebih memilukan adalah perilaku para komprador pemburu keuntungan yang selama ini kecanduan mengimpor aneka bahan pangan mulai dari beras, gula, daging sampai buah-buahan. Karena, impor bahan pangan dapat menyengsarakan para petani, meningkatkan pengangguran, menghamburkan devisa, dan membunuh sector pertanian yang mestinya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Dewasa ini Indonesia mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula /tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.
Padahal kondisi agroekologis Nusantara cocok untuk budi daya hampir semua bahan pangan tersebut. Buktinya kita pernah mengukir prestasi monumental yang diakui dunia (FAO), swasembada beras pada 1984, yang sebelumnya sebagai pengimpor beras nomor wahid di dunia. Sebelum kebejatan moral merasuk ke tulang sumsum kebanyakan pejabat publik dan elit bangsa ini (sebelum 1986), kita pun mampu berswasembada gula dan jagung.

Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
  1. Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun;
  2. Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.

4.2  Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negeri  ?
Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melakukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, eksport subsidi dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Perlukah Impor?
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.

Mengapa Tidak Impor?
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.

4.3  Apa Peran Pemerintah dalam Memajukan Pertahanan Pangan?
      1.  Memperkuat struktur ekonomi masyarakat berbasis agribisnis dan meningkatkan peranan serta swadaya masyarakat lokal
      Strategi umum pembangunan pertahanan pangan misal dalam hal pertanian adalah memajukan agribisnis, yaitu membangun secara sinergis dan harmonis aspek-aspek:
      (1) industri hulu pertanian yang meliputi perbenihan, input produksi lainnya dan alat mesin pertanian;
      (2) pertanian primer (on-farm);
      (3) industri hilir pertanian (pengolahan hasil); dan
      (4) jasa-jasa penunjang yang terkait.
      Mengingat bahwa pelaku utama agribisnis adalah petani dan pengusaha, dan tanpa adanya insentif pendapatan mereka akan enggan menekuni agribisnis, maka kata kunci dalam meningkatkan kinerja sektor ini adalah menciptakan insentif ekonomi yang menunjang daya tarik agribisnis.

      2.        Membuat kebijakan yang dapat memperkuat pertahan pangan
Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak terlepas dengan kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan pangan terutama dari produksi domestik.
     
      3.    Pengembangan inovasi teknologi seperti pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengembangan teknologi guna meningkatkan efisiensi akan mencakup spektrum teknologi yang sangat luas dari teknologi yang terkait dengan teknologi pengembangan sarana produksi (benih, pupuk dan insektisida), teknologi pengolahan lahan (traktor), teknologi pengelolaan air (irigasi gravitasi, irigasi pompa, efisiensi dan konservasi air), teknologi budidaya (cara tanam, jarak tanam, pemupukan berimbang, pola tanam, pergiliran varietas), teknologi pengendalian hama terpadu (PHT).
      4.    Diversifikasi Produksi Pangan
Diversifikasi produksi pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam ketahanan pangan. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan.
     
      5.    Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi terhadap komoditas lokal
      Kebijakan pemerintah harus mengacu pada produksi dan konsumen dalam negeri serta suplai pangan dalam negeri harus rutin. Harus ada teknologi yang mendukung seperti pengaturan curah ujan, dll.
     
      6.   Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan lumbung pangan untuk menabung hasil panen mereka
      Lumbung pangan yang dibangun pemerintah tersebut berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi petani, caranya hasil panen mereka ditabung di lumbung pangan ini, keamanan dan mutu padi atau berasnya akan terjamin. Pembangunan lumbung pangan di setiap kecamatan di daerah .

      7.    Penahanan Konversi Lahan Padi
Ada satu paradoks yang pelik terkait lahan padi di Indonesia. Daerah yang paling subur dan cocok untuk bertanam padi adalah di Jawa, terutama di Pantura. Tetapi, kegunaan paling efisien dari lahan tersebut bukanlah untuk bertanam padi, karena lebih menguntungkan jika diubah menjadi kawasan industri atau pemukiman. Dan lagi, semakin banyak kawasan yang berubah jadi kawasan industri, semakin menguntungkan membangun kawasan industry lainnya di Pantura (efek aglomerasi).

Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.
           
      8.  Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Adalah menjamin tersedianya pendanaan dalam penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengatur Pembiayaan pada keseluruhan sistem dan proses Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, meliputi: perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, sistem informasi, serta perlindungan dan pemberdayaan Petani.




     BAB V
     PENUTUP

5.1  Kesimpulan
Dalam masalah ini, adanya proses impor beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di Indonesia mengalami surplus memang banyak menimbulkan tanda Tanya. Seharusnya pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak dirugikan.
Pemerintah diharapkan dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor.

5.2  Saran
Kita sebaiknya sebagai warga negara yang baik lebih memilih untuk mengkonsumsi produksi pangan dalam negeri terutama beras yang dianggap sebagai makanan pokok warga negara Indonesia sehingga dapat terwujudnya Ketahanan Pangan Nasional yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA

·         Ariani, Mewa. 2006. Diversifikasi Pangan di Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Agro Ekonomi, Jakarta.
·         Azyumardi, Azra. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta. ICCE.
·         Khumaidi. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Pidato Orasi Guru Besar Ilmu Gizi. IPB, Bogor.
·         Rahaditya, R. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Pustaka Mandiri.
·         Rini Ningsih. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Jakarta : Yudistira.
·         Siagian, M. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Bervisi Global dengan Paradigma Humanistik. Vol. 2, No. 2.
·         Winarno, 2010. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (edisi kedua) Jakarta: Bumi Aksara.
·         http://kanopi-feui.blogspot.com/2012/04/kajian-post-beras-dan-masalah-ketahanan.html





INDEKS

·         Trigatra                : Tiga wujud; tiga sudut pandang; tiga aspek.
·         Sanitasi                 : Usaha untuk membina dan menciptakan suatu  
keadaan yg baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat.
·         Aglomerasi           : Pengumpulan atau pemusatan dl lokasi atau kawasan tertentu.
·         Diversifikasi         : Penganekaragaman, usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa, atau investasi.
·         Liberalisasi           : Kebebasan bernegosiasi antar negara, proteksi diganti dg hukum pasar, sehingga yg kuatlah akan berkuasa.
·         Monopoli              : suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar.
·         Oligopoli              : pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
·         Fluktuasi              : ketidaktetapan atau guncangan, sebagai contoh terhadap harga barang dan sebagainya, atas segala hal yang bisa dilihat di dalam sebuah grafik.
·         Agribisnis             : bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.





CURRICULUM VITAE (CV)

Nama                                       : Yayuk Lestari
Alamat                                     : Perum. Bumi Waringin Bojonggede, Bogor
Telepon                                   : 085691219092
E-mail                                      : yayuklestari401@yahoo.co.id
Web                                         : yayuklestari.blogspot.com
Tempat dan Tanggal Lahir         : Bogor, 21 Mei 1993
Status                                      : Belum menikah
Agama                                     : Islam

 Latar Belakang Pendidikan

1998 – 1999                       : TK. Wali Songo
1999  – 2005                      : SDN 01 Bojonggede - Bogor
2005 - 2008                        : SMP Dharma Bhakti Bojonggede
2008 - 2011                        : SMK Taruna Andigha Bogor
2011 - Sekarang                 : Universitas Gunadarma Depok