Keberadaan
UKM sebagai bagian dari seluruh entitas usaha nasional merupakan wujud
nyata kehidupan ekonomi yang beragam di Indonesia. Oleh karena itu,
penempatan peran UKM merupakan salah satu pilar utama dalam
mengembangkan sistem perekonomian, namun hingga kini perkembangannya
masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang lain.
Dalam pengembangannya, UKM harus menjadi salah satu strategi utama
pembangunan nasional yang pelaksanaannya diwujudkan secara
sungguh-sungguh dengan komitmen bersama yang kuat serta didukung oleh
upaya-upaya sistematis dan konseptual secara konsisten dan terus
-menerus dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (baik
pemerintah, swasta, maupun masyarakat di tingkat nasional, regional,
maupun lokal).
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia, yaitu:
- Definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan
maksimal Rp 1.000.000.000 (1 milyar) dan memiliki kekayaan bersih, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp
200.000.000,00.
- Definisi menurut kategori Badan Pusat Statistik
(BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah
tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya,
yaitu:
- Industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang.
- Industri kecil dengan pekerja 5-19 orang.
- Industri menengah dengan pekerja 20-99 orang.
- Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.
Sejalan
dengan perkembangan dalam era globalisasi dan tuntutan dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah, masalah krusial yang juga banyak dikeluhkan
belakangan ini oleh para pelaku bisnis termasuk UKM munculnya berbagai
hambatan yang berkaitan dengan peraturan-peraturan baru, khususnya di
daerah. Peraturan-peraturan daerah ini sering kurang atau bahkan tidak
memberikan kesempatan bagi UKM untuk berkembang. Dalam implementasinya,
birokrasi administrasi yang berbelit-belit dan penegakan hukum yang
kurang tegas menjadi tantangan yang terus harus kita atasi ke depan.
Berawal dari berbagai masalah, tantangan, dan hambatan tersebut di atas,
maka dalam pengembangan koperasi dan UKM, pemerintah telah menetapkan
arah kebijakannya, yaitu:
- Mengembangkan UKM.
- Memperkuat Kelembagaan.
- Memperluas basis dan kesempatan berusaha.
- Mengembankan UKM sebagai produsen, dan
- Membangun Koperasi
Dalam
pembangunan perekonomian di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai
sektor yang memiliki peranan penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar
jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha
kecil baik di sektor tradisional maupun modern. UKM juga memiliki peran
yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, oleh karena itu,
selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja
juga berperan dalam perindustrian hasil-hasil pembangunan.
Usaha
kecil dan menengah (UKM) dalam memegang peranan penting tersebut, baik
ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi
penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS
dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
(Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah
tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn over)
setahun yang kurang dari Rp 1 milyar), pada tahun 2000 meliputi 99,9
persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan
usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan
yang berkisar antara Rp 1 Milyar dan Rp 50 Milyar) meliputi hanya 0,14
persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai
keseluruhan meliputi 99,9 persen dari jumlah total usaha yang bergerak
di Indonesia.
Dalam rangka menangkap semangat reformasi,
demokratisasi, desentralisasi, dan partisipasi; maka perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyempurnaan
terus-menerus keseluruhan program pembangunan seyogyanya mengacu pada
paradigm pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based
development) atau pembangunan yang berpusat pada manusia
(people-centered development). Konsep pelaksanaan pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat tersebut antara lain berlandaskan azas-azas:
- Komitmen
penuh pemerintah dengan keterlibatan minimal (fully committed with less
involvement),pemerintah berintervensi hanya apabila terjadi distorsi
pasar dengan cara selektif dan bijaksana (smart intervention)
- Peran-serta aktif (participatory process) dari seluruh komponen
- Masyarakat madani (civil society)
- Keberlanjutan (sustainability)
- Pendanaan
bertumpu pada prinsip-prinsip: efisiensi, efektivitas, transparansi,
dan accountability serta dapat langsung diterima oleh masyarakat yang
betul-betul memerlukan (intended beneficiaries).
Sebagai
konsekuensinya semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau semua
unsur masyarakat madani (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi serta
masyarakat dan/atau LSM) haruslah dilibatkan di dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi
pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah/lokal. Upaya menegakkan
kemandirian nasional dalam rangka mengurangi/menghapuskan beban hutang
dan ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri serta upaya memperkuat
ketahanan ekonomi nasional harus dibangun melalui penggalian dan
mobilisasi dana masyarakat serta peningkatan partisipasi segenap unsur
masyarakat madani (Indonesia Incorporated) dalam proses pembangunan
berlandaskan paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat
(community-based development). Dengan demikian pengembangan investasi
akan berlangsung secara berkelanjutan dan berakar dari kemampuan
sumberdaya nasional dengan partisipasi luas masyarakat dan dunia usaha,
terutama UKM dan Koperasi sebagai komponen terbesar usaha nasional,
sehingga terbentuk keandalan daya saing investasi nasional. Pembangunan
investasi bagi perkuatan usaha nasional, perlu lebih didorong untuk
memperluas pemerataan kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku ekonomi
dalam rangka memperkuat basis perekonomian nasional yang tangguh dan
mandiri serta untuk mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan.
Dalam
mewujudkan system tersebut, dibutuhkan lingkungan yang mendukung.
Lingkungan yang paling dekat adalah lingkungan operasi UKM itu sendiri
yang secara langsung dihadapi oleh UKM. Lingkungan ini secara langsung
mempengaruhi performa UKM. Kompetitor, kreditor, pelanggan, buruh, dan
pemasok adalah faktor-faktor yang mempengaruhi performa UKM. Penguasaan
pangsa pasar salah satu faktor yang menentukan sejauhmana daya kompetisi
UKM. Sedangkan dari sisi sistem kredit, perburuhan, dan pelanggan juga
sangat nyata mempengaruhi UKM.
Prospek bisnis UKM dalam era
perdagangan bebas dan otonomi daerah sangat tergantung pada upaya yang
ditempuh oleh pemerintah dalam mengembangkan bisnis UKM. Salah satu
upaya kunci yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembangkan iklim
usaha yang kondusif bagi UKM. Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif
ini, diperlukan penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi UKM.
Kebijakan yang kondusif dimaksud dapat diartikan sebagai lingkungan
kebijakan yang transparan dan tidak membebani UKM secara finansial
bicara berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan pemerintah yang
berlebihan, baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dihapuskan,
khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administratif
yang rumit dan menghambat kegiatan UKM.
Suatu faktor penting di
beberapa daerah yang sangat mengurangi daya saing UKM adalah pungutan
liar (pungli) atau sumbangan wajib yang dikenakan pejabat aparat
pemerintah. Pungli liar ini tentu saja akan meningkatkan biaya operasi
UKM sehingga mengurangi daya saing mereka. Dengan demikian, pungutan
liar maupun beban fiskal yang memberatkan perkembangan UKM di daerah
harus dihapuskan.
Selain penciptaan lingkungan bisnis yang
kondusif, program-program pengembangan UKM yang diarahkan pada supply
driven strategy sebaiknya mulai ditinggalkan, sebagai pengganti dari
arah program ini yakni pengembangan program UKM yang berorientasi
pasaryang didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riel UKM
(market oriented, demand driven programs). Fokus dari program ini yakni
pertumbuhan UKM yang efisien ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas
UKM yang berkelanjutan, dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan
UKM yang berkelanjutan. Secara lebih spesisfik The Asia Foundation pada
tahun 2000 membagi fokus pengembangan UKM baru yang berorientasi pasar
tersebut dalam empat unsur pokok, yaitu:
- Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM
- Pengembangan lembaga-lembaga finansial yang bisa memberikan akses kredit yang lebih mudah kepada U KM atas dasar transparansi
- Pelayanan jasa-jasa pengembangan bisnis non-finansial kepada UKM yang lebih efektif
- Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri.