Kata – Kata Mutiara
“Hiduplah seperti pohon kayu
yang lebat buahnya
Hidup di tepi jalan …
dan dilempari orang dengan batu,
dan dilempari orang dengan batu,
Tetapi dibalas dengan buah “
-Abu
Bakar Sibli-
“Pahlawan bukanlah orang
yang berani menetakkan pedangnya ke pundak
lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah”
lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah”
-Nabi
Muhammad Saw-
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur segala muara pujian hanya pantas
terhatur pada Allah SWT atas segala rahmat dan inayah-Nya. Alhamdulilah akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan karya ilmiah yang bejudul “Ketahanan Nasional dalam Bidang Pangan” .
Penulisan karya ilmiah
ini, bertujuan untuk memenuhi tugas softskill Pendidikan Kewarganegaraan. Karya
ilmiah ini di susun berdasarkan hasil analisis data dari referensi-referensi
buku Pendidikan Kewarganegaraan yang saya baca tentang “Ketahanan Pangan Nasional
Indonesia”.
Selesainya karya ilmiah
ini tidak terlepas dari peranan dan bimbingan, baik dari pihak Universitas
maupun pihak Dosen. Adapun tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Djumharjinis, selaku Dosen pembimbing dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
yang memberikan tugas ini sehingga kami selaku mahasiswa/i dapat mempelajari
cara penulisan Ilmiah yang akan kami lakukan di semester 6 nanti.
Saya mengharapkan
masukan atau saran sebagai upaya agar karya ilmiah ini dapat tersusun lebih sempurna
dari sebelumnya.
Akhir
kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi generasi muda yang akan
datang.
Depok,
Mei 2013
Yayuk lestari
DAFTAR ISI
CURRICULUM
VITAE (CV)
Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan
dalam mempearjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah menegara. Ketahanan Nasional
merupakan kodisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, yang
langsung dan tidak langsung membahayakan integritas, identitas, dan
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan
nasionalnya. Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan konsepsi di dalam
pengetahuan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupan
nasional.
2.2
Macam-macam Ketahanan Nasional
Perwujudan
ketahanan nasional terbagi :
1.
Perwujudan Ketahanan Nasional Indonesia dalam Trigatra, terbagi menjadi :
a. Aspek
lokasi dan posisi Geografis Wilayah Indonesia
b.
Aspek Keadaan dan Sumber-sumber Kekayaaan Alam
c.
Aspek Penduduk
2.
Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Pancagatra, terbagi menjadi :
a.
Ketahanan Nasional Dalam Bidang Ideologi
b.
Ketahanan Nasional Dalam Bidang Politik
c.
Ketahanan Nasional di Bidang Ekonomi
d.
Ketahanan nasional dibidang sosial budaya
e.
Ketahanan nasional dibidang pertahanan keamanan
Ketahanan
nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi,
ketahanan sosial budaya dan ketahanan pertahanan keamanan
-
Ketahanan ideologi adalah kondisi
mental bangsa Indonesia yang berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi
pancasila yang mengandung kemampuan untuk menggalan dan memelihara persatuan
dan kesatuan nasional dan kemampuan untuk menangkal penetrasi ideologi asing
serta nilai - nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
-
Ketahanan politik adalah kondisi
kehidupan politik bangsa yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan
pancasila dan UUD 1945, mengandung kemampuan stabilitas politik yang sehat dan
dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas aktif.
-
Ketahanan ekonomi adalah kondisi
kehidupan perekonomian bangsa yang berlandaskan demokrasi ekonomi berdasarkan
pancasila, yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat
dan dnamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi dengan daya saing
yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata.
-
Ketahanan nasional budaya adalah
kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional
berdasarkan pancasila, yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan
kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat indonesia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air,
berkualitas, maju, dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi,
dan seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai
dengan kebudayaan nasional.
-
Ketahanan pertahanan keamanan adalah
kondisi daya tangkal bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat
yang mengandung kemauan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang
dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil – hasilnya, serta kemampuan
mempertahankan kedaulatan negara dan menagkal segala bentuk ancaman.
2.3
Pengertian Ketahanan Pangan
Undang-undang
No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap
rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan
pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan
sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga
untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.
Pada
tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa
untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang
layak, aman; dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada
keragaman sumber daya lokal.
Ketahanan
pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini
dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian
tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya.
Di
Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu tingkat kesejahteraan karena
sebagian besar penduduk yang bekerja on-farm untuk yang berada di
daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang
menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi.
Memperhatikan
hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan
nasional. Salah satu langkah strategis untuk memelihara ketahanan nasional
adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan.
2.4
Aspek Ketahanan Pangan
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU
RI No. 7 tahun 1996 yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 aspek yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu :
1. Aspek ketersediaan pangan (Food Availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik
yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan
pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan
yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang
aktif dan sehat.
2. Aspek Akses Pangan (Food Acces) :
yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimiliki
untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh
dari produksi pangannya sendiri, pembelian atupun melalui bantuan pangan. Akses
rumah tangga dari individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan social. Akses
ekonomi tergantung pada, pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan
akses social menyangkut tentang referensi pangan.
3. Aspek Penyerapan Pangan (Food Utilazation)
: yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi
dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan
tergantung pada pengetahuan rumah tangga/individu sanitasi dan ketersediaan
air, fasilitas kesehatan, serta penyuluahan gizi dan pemeliharaan balita.
Penyerapan pangan / konsumsi terkait dengan kualitas dan keamanan jenis pangan
yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti
ini sulit dilakukan karena melibatkan berbagai jenis makanan dengan kandungan
gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran keamanan hanya dilihat dari ada atau
tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang
dikonsumsi dalam rumah tangga.
4. Aspek Stabilitas
: merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan
pangan kronis dan kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis adalah
ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan
kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi sementara yang
diakibatkan Karena masalah kekeringan, banjir, bencana, maupun konflik social.
Jika dilihat di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan
ketersediaan pangan dan frekwensi makan anggota rumah tangga. Satu rumah tangga
dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai ketersediaan pangan
di atas cutting point (240 hari untuk provinsi lampung dan 360 hari untuk
Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dan makan 3 (tiga) kali sehari sesuai
dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut. Dengan asusmsi di daerah
tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari. Frekwensi
makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam
rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan daam jangka waktu tertentu adalah mengurangi frekwensi
makan atau mengkominasikan bahan makanan pokok misal (beras dengan umbi kayu).
Apabila salah satu
aspek tersebut tidak terpenuhi maka suatu Negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang cukup baik. Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
pangannya tidak merata, maka ketahan pangan masih dikatakan rapuh.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif, dan metode
yang digunakan bertipe deskriptif analisis yaitu berupa persoalan suatu
fenomena untuk sampai pada suatu langkah-langkah dalam mengatasi fenomena yang
menjadi pokok permasalahan dan menggambarkan reaksi atau tindakan pemerintah
terhadap permasalahan.
3.1 Objek Penelitian
Objek
yang penulis pilih ini adalah tentang Ketahanan Nasional dalam Bidang Pangan
yang mencakup definisinya, aspek-aspek, dan permasalahan yang terjadi seperti
meningkatnya jumlah/populasi penduduk sehingga meningkatnya pula impor beras
untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Kenyataan
bahwa penduduk Indonesia yang 220 juta orang hampir semuanya pemakan nasi.
Jadi, apabila kita selalu menggantungkan diri pada impor beras, bila terjadi fluktuasi
di pasar beras internasional bisa memunculkan masalah serius bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Masalah pengadaan pangan pokok harus
selalu dikaitkan dengan aspek ketahanan pangan. Untuk itu yang perlu dicermati
tak hanya masalah produksi, tetapi harga gabah, kemudahan kredit, kebijakan
impor, dan penyelundupan. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Deptan mempunyai
tugas berat untuk mengamankan ketahanan pangan.
3.2 Metode
dan Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian
ini adalah penelitian literature / buku yang biasa disebut dengan riset
pustaka. Adapun mengenai metode yang diterapkan dalam memahami studi khasus
tentang kajian ketahanan nasional di bidang budaya, dan selanjutnya penulis
akan menganalisa dari data-data yang diperoleh dari sumber informasi, baik itu
buku refrensi, media massa / surat kabar, maupun melalui internet yang
menunjang penulis untuk dapat menganalisa isu yang ada.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman
Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto
dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada
usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di
Indonesia.
Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang
sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari
FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia
dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara
sedang berkembang (World Bank,1990). Namun prestasi ini tidak berlangsung lama
dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar
masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan
di Indoensia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009
menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum
terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin,
rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan
secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi
terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum
efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima
petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Padahal ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi
yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki
fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Permasalahan utama yang
dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa
pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan.
Permintaan yang meningkat merupakan resultante dari peningkatan jumlah
penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan
selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup
lambat dan stagnan, karena:
(a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan
dan air, serta
(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga
kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan
kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari
impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian
penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula
penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain itu, saat ini di Indonesia sendiri Kendala dan
tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain
adalah: Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan nonpertanian,
khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya
basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai
kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air
untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian
menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan
sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan
aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi.
Selain itu Terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi
petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana
produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi
pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan
iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen
agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi
pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.
Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak
tercapai sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Dari sisi kebijakan
moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang manuver untuk menurunkan suku bunga
guna mendorong perekonomian di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan
kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga global. Yang lebih memilukan
adalah perilaku para komprador pemburu keuntungan yang selama ini kecanduan
mengimpor aneka bahan pangan mulai dari beras, gula, daging sampai buah-buahan.
Karena, impor bahan pangan dapat menyengsarakan para petani, meningkatkan
pengangguran, menghamburkan devisa, dan membunuh sector pertanian yang mestinya
menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Dewasa ini Indonesia
mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula
/tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun;
5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.
Padahal kondisi
agroekologis Nusantara cocok untuk budi daya hampir semua bahan pangan
tersebut. Buktinya kita pernah mengukir prestasi monumental yang diakui dunia
(FAO), swasembada beras pada 1984, yang sebelumnya sebagai pengimpor beras
nomor wahid di dunia. Sebelum kebejatan moral merasuk ke tulang sumsum
kebanyakan pejabat publik dan elit bangsa ini (sebelum 1986), kita pun mampu
berswasembada gula dan jagung.
Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus
menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
- Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun;
- Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.
4.2 Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari
luar negeri ?
Penduduk
Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per
orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg,
India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan
produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
Selain
itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan
kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan
susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor
lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca
yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi
saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan
dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta
pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan
benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang
dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk.
Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan
terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan
penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan
yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali
iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga
negara melakukan impor gula.
Penyebab
impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit.
Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi
konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar
Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas
0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun
kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi,
tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras
impor.
Ketergantungan
impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di
Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara
lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar
AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya
transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki
ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor
di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan
produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi,
liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi,
akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti
yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu,
ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni
kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang
dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang
notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat
konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir
pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti
Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja
menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user.
Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya
sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah
terjadi saat ini.
Liberalisasi,
disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada
pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang
ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO).
Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun
melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state
obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan
hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic
subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit,
teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, eksport subsidi dari negara-negara
overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya
malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar
dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi,
beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan
pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004
tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor
pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara
serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan.
Dengan
sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar
internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola
produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena
dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada
kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak
goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa
komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar
internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Perlukah Impor?
Pertama,
bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras
dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa
dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan
kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan
keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas
Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya,
data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar
merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras
sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk
pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS),
konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini
underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai
konsumsi beras nasional.
Sebenarnya
kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani
untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk
berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya
hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini
dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama
dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar
sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.
Mengapa Tidak Impor?
Kebijakan
yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada
satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi
kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri
dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan
berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton
gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010
lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen
seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per
hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat
tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat
dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang
mengalami defisit.
Selanjutnya,
impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang
ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara,
disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai
dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
4.3 Apa Peran Pemerintah dalam Memajukan
Pertahanan Pangan?
1. Memperkuat struktur ekonomi masyarakat
berbasis agribisnis dan
meningkatkan
peranan serta swadaya masyarakat lokal
Strategi umum
pembangunan pertahanan pangan misal dalam hal pertanian adalah memajukan
agribisnis, yaitu membangun secara sinergis dan harmonis aspek-aspek:
(1) industri
hulu pertanian yang meliputi perbenihan, input produksi lainnya dan alat mesin
pertanian;
(2) pertanian
primer (on-farm);
(3) industri
hilir pertanian (pengolahan hasil); dan
(4) jasa-jasa
penunjang yang terkait.
Mengingat bahwa
pelaku utama agribisnis adalah petani dan pengusaha, dan tanpa adanya insentif
pendapatan mereka akan enggan menekuni agribisnis, maka kata kunci dalam
meningkatkan kinerja sektor ini adalah menciptakan insentif ekonomi yang
menunjang daya tarik agribisnis.
2. Membuat kebijakan yang dapat memperkuat
pertahan pangan
Upaya mewujudkan ketahanan pangan
nasional tidak terlepas dengan kebijakan umum pembangunan pertanian dalam
mendukung penyediaan pangan terutama dari produksi domestik.
3.
Pengembangan inovasi teknologi seperti pengembangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengembangan teknologi guna
meningkatkan efisiensi akan mencakup spektrum teknologi yang sangat luas dari
teknologi yang terkait dengan teknologi pengembangan sarana produksi (benih,
pupuk dan insektisida), teknologi pengolahan lahan (traktor), teknologi
pengelolaan air (irigasi gravitasi, irigasi pompa, efisiensi dan konservasi
air), teknologi budidaya (cara tanam, jarak tanam, pemupukan berimbang, pola
tanam, pergiliran varietas), teknologi pengendalian hama terpadu (PHT).
4. Diversifikasi Produksi
Pangan
Diversifikasi produksi pangan merupakan
aspek yang sangat penting dalam ketahanan pangan. Diversifikasi produksi pangan
bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko
berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan
mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang
merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan.
5.
Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi
terhadap komoditas lokal
Kebijakan
pemerintah harus mengacu pada produksi dan konsumen dalam negeri serta suplai
pangan dalam negeri harus rutin.
Harus ada teknologi yang mendukung seperti pengaturan curah ujan, dll.
6.
Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan
lumbung pangan untuk menabung hasil panen mereka
Lumbung pangan
yang dibangun pemerintah tersebut berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi
petani, caranya hasil panen mereka ditabung di lumbung pangan ini, keamanan dan
mutu padi atau berasnya akan terjamin. Pembangunan lumbung pangan di setiap
kecamatan di daerah .
7. Penahanan Konversi Lahan Padi
Ada satu
paradoks yang pelik terkait lahan padi di Indonesia. Daerah yang paling subur
dan cocok untuk bertanam padi adalah di Jawa, terutama di Pantura. Tetapi,
kegunaan paling efisien dari lahan tersebut bukanlah untuk bertanam padi,
karena lebih menguntungkan jika diubah menjadi kawasan industri atau pemukiman.
Dan lagi, semakin banyak kawasan yang berubah jadi kawasan industri, semakin menguntungkan
membangun kawasan industry lainnya di Pantura (efek aglomerasi).
Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.
8.
Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Adalah menjamin tersedianya pendanaan
dalam penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Kebijakan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan mengatur Pembiayaan pada keseluruhan sistem dan proses
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, meliputi: perencanaan dan
penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian,
pengawasan, sistem informasi, serta perlindungan dan pemberdayaan Petani.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam masalah ini, adanya proses impor beras dari luar negri
disaat nilai produksi beras di Indonesia mengalami surplus memang banyak
menimbulkan tanda Tanya. Seharusnya pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog
melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan
beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga
dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat
naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak
dirugikan.
Pemerintah
diharapkan dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini
tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus
berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara
komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor.
5.2 Saran
Kita
sebaiknya sebagai warga negara yang baik lebih memilih untuk mengkonsumsi
produksi pangan dalam negeri terutama beras yang dianggap sebagai makanan pokok
warga negara Indonesia sehingga dapat terwujudnya Ketahanan Pangan Nasional
yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ariani,
Mewa. 2006. Diversifikasi Pangan di
Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Agro Ekonomi, Jakarta.
·
Azyumardi, Azra. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta.
ICCE.
·
Khumaidi.
1997. Beras Sebagai Pangan Pokok
Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Pidato Orasi Guru Besar Ilmu Gizi.
IPB, Bogor.
·
Rahaditya, R. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi. Jakarta: Pustaka Mandiri.
·
Rini Ningsih. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Jakarta :
Yudistira.
·
Siagian, M. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Bervisi
Global dengan Paradigma Humanistik. Vol. 2, No. 2.
·
Winarno, 2010.
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan
(edisi kedua) Jakarta: Bumi
Aksara.
·
http://kanopi-feui.blogspot.com/2012/04/kajian-post-beras-dan-masalah-ketahanan.html
INDEKS
·
Trigatra : Tiga wujud; tiga sudut
pandang; tiga aspek.
·
Sanitasi :
Usaha untuk membina dan
menciptakan suatu
keadaan yg baik di bidang kesehatan,
terutama kesehatan masyarakat.
·
Aglomerasi : Pengumpulan atau pemusatan dl lokasi atau
kawasan tertentu.
·
Diversifikasi : Penganekaragaman, usaha untuk menghindari
ketergantungan pada ketunggalan kegiatan,
produk, jasa, atau investasi.
·
Liberalisasi : Kebebasan
bernegosiasi antar negara, proteksi diganti dg hukum pasar, sehingga yg kuatlah
akan berkuasa.
·
Oligopoli : pasar
di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya
jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
·
Fluktuasi : ketidaktetapan
atau guncangan, sebagai contoh terhadap harga barang dan sebagainya, atas
segala hal yang bisa dilihat di dalam sebuah grafik.
·
Agribisnis : bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di
sektor hulu maupun di hilir.
CURRICULUM VITAE (CV)
Nama :
Yayuk Lestari
Alamat :
Perum. Bumi Waringin Bojonggede, Bogor
Telepon :
085691219092
E-mail :
yayuklestari401@yahoo.co.id
Web :
yayuklestari.blogspot.com
Tempat dan Tanggal Lahir :
Bogor, 21 Mei 1993
Status :
Belum menikah
Agama :
Islam
Latar Belakang Pendidikan
1998 – 1999
: TK. Wali Songo
1999 – 2005 : SDN 01 Bojonggede -
Bogor
2005 - 2008
: SMP Dharma Bhakti Bojonggede
2008 - 2011
: SMK Taruna Andigha Bogor
2011 - Sekarang
: Universitas Gunadarma Depok